Akses Nilai Koperasi Desa Merah Putih Rentan Dimanfaatkan Para Makelar Proyek

3 days ago 7

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto mengatakan, program Koperasi Desa Merah Putih berpotensi menjadi mainan para makelar proyek. Sebab, program ini menyalahi prinsip dasar koperasi yang mandiri, otonom, dan demokratis dan bertolak belakang dengan kunci keberhasilan koperasi yang terjadi di seluruh dunia.

“Secara konseptual, Koperasi Desa Merah Putih sebetulnya tak layak disebut sebagai koperasi karena tak menunjukkan ciri-ciri sebagai koperasi sama sekali,” ujar Suroto dalam keterangan tertulis, Rabu, 7 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suroto menjelasakan, koperasi di berbagai belahan dunia sukses karena dikembangkan atas prakarsa masyarakat secara mandiri dan dikelola secara demokratis. Sementara pemerintah bertugas menciptakan ekosistem yang kondusif bagi tumbuh kembang koperasi yang sehat, alih-alih mendirikan atau memperalat koperasi itu sendiri.

Semua ciri atau syarat keberhasilan koperasi, ujar Suroto, tak ia temukan di dalam sistem Koperasi Desa Merah Putih. Ia justru menilai koperasi ini hanya bertujuan jangka pendek lantaran mengandalkan dana pemerintah. Pelibatan pejabat-pejabat yang tak kompeten secara kelembagaan, ujar dia, pun akan merusak citra koperasi.

Dengan tak ditaatinya prinsip-prinsip koperasi, Suroto mengatakan program ini rawan dimanfaatkan oleh para pengejar keuntungan dari para makelar proyek. Mereka, ujar Suroto, hanya ingin mendapat keuntungan dari aktivitas pendanaan proyek. “Koperasi Desa Merah Putih lebih layak disebut lembaga para makelar proyek ketimbang koperasi,” ujar CEO Induk Koperasi Rakyat (Inkur) ini.

Model organisasi makelar proyek yang mengatas namakan koperasi ini sudah sering terjadi di Indonesia. Suroto mencontohkan, dalam istilah lama koperasi semacam ini disebut dengan “koperasi merpati”. Koperasi ini berdiri karena adanya stimulus pendanaan dari pemerintah. “Didirikan ramai-ramai hanya untuk sekadar menampung kucuran pendanaan dari pemerintah, baik berupa bantuan langsung atau kredit,” ujarnya.

Pada masa Orde Baru, Suroto melanjutkan, ada koperasi sejenis bernama Koperasi Unit Desa (KUD) yang berujung gagal. Metika ditarik semua hak istimewa bisnisnya seperti pembelian gabah untuk pengadaan beras Bulog dan penyaluran pupuk, koperasi ini langsung rontok. KUD, menurut dia, turut merusak citra koperasi dengan anekdot KUD sebagai singkatan “Ketua Untung Duluan”.

Pada masa Reformasi 1998, pemerintah menstimulus kredit program Kredit Usaha Tani (KUT). Orang kemudian ramai-ramai dirikan koperasi pertanian (koptan). Jumlah koperasi melonjak dari 48 ribu menjadi 92 ribu koperasi dalam satu tahun. Tapi menurut Suroto, koperasi ini hanya menambah panjang deretN koperasi papan nama dan banyak menyeret pengurusnya masuk ke penjara.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |