TEMPO.CO, Bandung - Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Wafid mengatakan hasil pemeriksaan deformasi tubuh Gunung Tangkuban Parahu dengan metode Electronic Distance Measurement (EDM) dan Global Navigation Satellite System (GNSS) menunjukkan pola inflasi.
“Pemantauan dengan metode deformasi menunjukkan pola inflasi atau terjadi peningkatan tekanan pada tubuh Gunung Tangkuban Parahu,” kata dia, dalam keterangannya, Selasa, 3 Juni 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wafid mengatakan peningkatan tekanan tersebut berkorelasi dengan meningkatnya aktivitas kegempaan yang terpantau pada 30 Mei 2025 hingga 2 Juni 2025. Pada rentang waktu tersebut terjadi peningkatan gempa embusan berkisar 21-37 kejadian serta gempa frekuensi rendah yang mencapai 134 kejadian.
“Aktivitas vulkanik Gunung Tangkuban Parahu saat ini didominasi oleh gempa-gempa berfrekuensi rendah yang mengindikasikan aktivitas pergerakan fluida di kedalaman dangkal atau dekat permukaan,” kata dia.
Menurutnya, peningkatan gempa frekuensi rendah berkorelasi dengan peningkatan intensitas embusan yang terjadi di Gunung Tangkuban Parahu. “Peningkatan ini dapat terjadi karena perubahan (akumulasi) tekanan di kedalaman dangkal, sementara itu indikasi akumulasi tekanan dari magma-dalam yang belum teramati,” kata dia.
Dari pantauan visual Badan Geologi, aktivitas embusan Gunung Tangkuban Parahu ditandai dengan embusan asap dari Kawah Ratu berwarna putih dengan intensitas tipis hingga tebal. Ketinggian asap bervariasi 5-120 meter dari dasar Kawah Ratu.
Wafid mengingatkan potensi ancaman letusan freatik yang bisa terjadi sewaktu-waktu dengan situasi tingginya intensitas hujan di wilayah Gunung Tangkuban Parahu.
“Sifat erupsinya lebih didominasi oleh erupsi freatik akibat perambatan/propagasi panas magma melewati batuan/material vulkanik penyusun tubuh gunung api dan kemudian memanasi sistem air tanah di dalam tubuh gunung api. Pada kondisi tersebut air dapat mengalami pemanasan yang ekstrem (super heating), menghasilkan uap dengan tekanan sangat tinggi, dan akhirnya terjadi erupsi freatik,” kata dia.
Badan Geologi masih mempertahankan status aktivitas Gunung Tangkuban Parahu berada di Level I atau Normal. Dalam status tersebut masyarakat diminta mewaspadai potensi erupsi freatik.
“Perlu diwaspadai potensi bahaya berupa erupsi freatik, yaitu erupsi yang terjadi tanpa ada peningkatan gejala vulkanik yang jelas atau signifikan. Erupsi freatik jika terjadi dapat disertai hujan abu dan lontaran material di sekitar kawah,” kata Wafid.
Wafid mengatakan dengan status Level I atau Normal tersebut Badan Geologi merekomendasikan agar masyarakat dan pengunjung atau wisatawan tidak mendekat ke dasar kawah, tidak berlama-lama dan tidak menginap di area kawah aktif Gunung Tangkuban Parahu.
“Segera menjauhi/meninggalkan area sekitar kawah jika teramati peningkatan intensitas/ketebalan asap kawah dan/atau jika tercium bau gas yang menyengat guna menghindari potensi bahaya paparan gas beracun maupun erupsi freatik,” kata dia.
Badan Geologi mencatat aktivitas erupsi terakhir Gunung Tangkuban Parahu terjadi tahun 2019 berupa erupsi freatik di Kawah Ratu, yakni pada tanggal 26 Juli 20219 pukul 15.48 WIB. Peningkatan aktivitas erupsi yang cukup signifikan kala itu menyebabkan Badan Geologi sempat menaikkan status aktivitas gunung tersebut menjadi Level II atau Waspada pada 2 Agustus 2019 pukul 08.00 WIB.
Setelah menjalani fase erupsi selama tiga bulan, aktivitas vulkanik Gunung Tangkuban Parahu menurun hingga statusnya diturunkan menjadi Level I atau Normal hingga saat ini.
Gunung Tangkuban Parahu berada di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Subang, Jawa Barat. Gunung itu memiliki sembilan kawah dengan dua kawah utama berada di area puncak, yakni Kawah Ratu dan Kawah Upas. Letusan Gunung Tangkuban Parahu umumnya berupa letusan freatik di Kawah Ratu.
“Masyarakat di sekitar Gunung Tangkuban Parahu diharapkan tetap tenang dan beraktivitas seperti biasa. Jangan terpancing oleh isu-isu mengenai erupsi,” kata Wafid.