Bahlil Klaim RUPTL Mampu Buka 1,7 Lapangan Kerja

1 day ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) bisa membuka 1,7 lapangan kerja baru. Menurut Bahlil, penciptaan lapangan kerja tersebut sejalan dengan target penambahan pembangkit listrik sebesar 69,5 gigawatt hingga 2034.

Bahlil mengatakan penambahan pembangkit listrik tersebut bisa menyerap investasi hingga Rp2.967 triliun. “Kami memproyeksikan RUPTL ini akan menciptakan 1,7 juta lapangan kerja, dan 91 persen di antaranya adalah green jobs,” kata Bahlil melalui keterangan tertulis, dikutip Jumat, 30 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia mengatakan potensi lapangan kerja tersebut datang dari sektor pembangunan pembangkit listrik, pembangunan transmisi, sektor penyaluran dan sektor listrik di pedesaan. Secara umum, kata dia, 836 ribu tenaga kerja akan terserap dalam proses pembangunan pembangkit dan 881 ribu tenaga kerja di sektor transmisi dan gardu induk.

Dalam RUPTL 2025–2034, pemerintah menetapkan target penambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 gigawatt (GW).

Dari jumlah tersebut, porsi EBT mendominasi sebesar 42,6 GW atau 61 persen. Sementara itu, kapasitas dari sistem penyimpanan energi (energy storage) ditargetkan sebesar 10,3 GW (15 persen), dan energi fosil 16,6 GW (24 persen).

Bahlil mengatakan pembangunan pembangkit dirancang dalam dua tahap. Pada lima tahun pertama, komposisi pembangkit masih cukup berimbang, dengan 44 persen berasal dari EBT, 45 persen dari fosil, dan 11 persen dari storage. Namun, pada fase kedua, fokus akan semakin mengarah ke EBT dengan proporsi mencapai 73 persen, sementara penggunaan fosil ditekan hingga 10 persen.

Meski demikian, sejumlah pengamat meragukan komitmen penggunaan energi bersih dan penciptaan lapangan kerja tersebut. Menurut Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira, RUPTL lebih condong melayani kepentingan industri batu bara dan gas ketimbang mendorong iklim investasi energi bersih. “Pemerintah gagal memberikan arah yang jelas.  Investor akan ragu untuk masuk ke sektor EBT maupun infrastruktur transmisi karena melihat fokus pemerintah masih pada teknologi lama yang mahal dan tidak efisien,” kata Bhima.

Bhima juga mengkritik ketidaksesuaian RUPTL dengan target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen. Menurutnya, RUPTL saat ini tidak mencerminkan strategi ekonomi masa depan yang berbasis inovasi dan keberlanjutan. “Kalau RUPTL seperti ini, jangan berharap bisa menjadi pendorong pertumbuhan atau pencipta lapangan kerja. Pemerintah harus segera merevisi dan mencabut rencana pembangunan pembangkit fosil,” kata Bhima.

Sementara itu, Sartika Nur Shalati, analis kebijakan dari CERAH, mengingatkan bahwa investasi di pembangkit fosil, khususnya gas, berpotensi menciptakan ketergantungan jangka panjang terhadap infrastruktur dan skema subsidi. Ia mencontohkan pembangunan PLTG umumnya diikuti proyek-proyek pendukung seperti jaringan pipa gas, terminal LNG, dan kontrak pasokan jangka panjang. “Begitu modal sudah tertanam, akan sulit menghentikannya sebelum akhir masa teknis, kecuali dengan kompensasi besar,” kata Sartika.

Ia menilai penambahan PLTU dalam RUPTL saat ini justru memperparah situasi karena pembangkit batu bara telah mendominasi 70 persen kapasitas listrik nasional. “Kita butuh strategi keluar dari batu bara, bukan menambah ketergantungan. Bahkan tanpa tambahan dalam jaringan PLN, PLTU tetap tumbuh lewat captive power,” kata dia.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |