Guru Besar FK UNS Kritik PPDS Berbasis Rumah Sakit Kementerian Kesehatan

7 hours ago 3

TEMPO.CO, Solo - Kritikan terhadap kebijakan Kementerian Kesehatan juga datang dari jajaran guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Salah satu yang menjadi sorotan adalah program pendidikan dokter spesialis (PPDS) berbasis rumah sakit atau hospital-based dari Kementerian Kesehatan.

Para guru besar Fakultas Kedokteran UNS menyampaikan seruan mereka yang diwujudkan dalam Suara Sang Semar (Seruan Nurani Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret untuk Negeri).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seruan itu berkaitan dengan kebijakan Kementerian Kesehatan yang saat ini dinilai terlalu mengintervensi pendidikan kedokteran.

"Intervensinya itu dengan mendirikan program studi (prodi) yang hospital based di rumah sakit pendidikan yang digunakan oleh fakultas kedokteran untuk program pendidikan spesialis yang sudah ada,” ujar guru besar bidang ilmu pulmonologi dan kedokteran respirasi UNS, Reviono, kepada wartawan di Solo, Selasa, 20 Mei 2025.

Selain Reviono, delapan guru besar Fakultas Kedokteran UNS lain yang ikut menyatakan sikap adalah Endang Sutisna Sulaeman, Yusup Subagio Sutanto, Trisulo Wasyanto, Ari Purbandari, Sri Sulistyowati, Bambang Purwanto, Ida Nurwati, dan Tonang Dwi Ardyanto.

Program PPDS berbasis rumah sakit telah diluncurkan Kementerian Kesehatan dan berjalan sejak 2024 di beberapa rumah sakit pendidikan utama (RSPU) yang menjadi mitra universitas penyelenggara pendidikan kedokteran.

Reviono mengungkapkan perbedaan sistem antara PPDS berbasis rumah sakit dan PPDS berbasis universitas bisa menimbulkan masalah. Dia mencontohkan, mahasiswa PPDS berbasis rumah sakit tidak membayar biaya pendidikan dan mendapat gaji atau honor. Sementara mahasiswa PPDS berbasis universitas membayar Sumbangan Pengembangan Pendidikan (SPP) dan bahkan tidak digaji.

"Dalam prosesnya, dalam pembelajaran sangat dimungkinkan dosen akan membedakan. Karena rumah sakit itu menjadi tuan rumah program yang baru, perlakuan ke mahasiswa juga bisa jadi berbeda,” kata Dekan Fakultas Kedokteran UNS itu.

Terkait hal itu, Fakultas Kedokteran UNS mendesak agar program PPDS berbasis rumah sakit tidak lagi didirikan di RSPU yang selama ini menjadi mitra fakultas kedokteran. Alih-alih mendirikan program baru tersebut, ia mengusulkan agar pemerintah memperbesar kuota mahasiswa di program PPDS berbasis universitas dan mendirikan program PPDS berbasis rumah sakit di rumah sakit lain yang belum bekerja sama dengan fakultas kedokteran.

“Kalau begitu kan jalan bareng, yang university based tetap berjalan dengan pola lama yang sudah diakui dunia. Yang hospital based dikembangkan di tempat lain yang belum digunakan,” ungkapnya.

Pihaknya memastikan Fakultas Kedokteran UNS Solo terus menyelenggarakan PPDS berbasis universitas dengan RSUD dr Moewardi dan RS UNS sebagai rumah sakit pendidikan utamanya.

Reviono mengatakan program hospital-based Kementerian Kesehatan sudah dijalankan di RS Ortopedi Soeharso dengan Prodi Orthopedi. Namun, menurut dia, bukan tidak mungkin Kementerian Kesehatan membuka PPDS hospital-based di RSUD dr Moewardi Solo. Jika rencana ini direalisasikan, dikhawatirkan ada dua sistem dalam satu institusi pendidikan utama.

Berkaitan dengan hal itu, Reviono meminta agar Kementerian Kesehatan membuka ruang dialog kembali dengan semua pihak terkait. Hal itu demi kepentingan pendidikan kedokteran Indonesia.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |