TEMPO.CO, Jakarta - Di balik Kemeriahan Festival Rujak Uleg 2025 yang digelar di Surabaya Expo Center (SBEC) pada Sabtu malam, 17 Mei 2025, Komunitas Nol Sampah Surabaya menyampaikan kekecewaannya karena dalam kegiatan tersebut ada pelepasan ratusan balon gas ke udara.
Festival Rujak Uleg 2025 merupakan salah satu rangkaian peringatan Hari Jadi Kota Surabaya (HJKS) ke-732 dan termasuk dalam 110 agenda nasional Kharisma Event Nusantara 2025. Acara tersebut dihadiri Sekretaris Kota Surabaya Iksan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Founder Komunitas Nol Sampah Surabaya Hermawan Some mengatakan pelepasan balon ke udara akan berdampak buruk bagi lingkungan. Balon yang berisi gas helium atau hidrogen tersebut bisa jatuh di laut, sungai, gunung, hutan atau di pemukiman.
Pria yang akrab disapa Wawan tersebut menyebutkan banyak fakta yang mengungkapkan balon yang khususnya jatuh ke laut justru membunuh biota. "Banyak biota yang mati karena terjerat balon yang mungkin dilepas dari tempat yang berjarak ratusan atau ribuan kilometer, tidak sedikit yang mati karena menelan balon yang sudah jatuh tersebut," kata Wawan kepada Tempo melalui keterangan tertulis, Senin, 19 Mei 2025.
Menutut dia, balon lateks termasuk jenis sampah laut yang paling mematikan bagai burung laut. Ia menyebutkan data yang menyebutkan balon lateks 32 kali lebih mungkin membunuh burung laut daripada sampah plastik. "Balon yang mengambang di lautan oleh penyu tidak dapat dibedakan dengan ubur-ubur, sehingga banyak penyu mati ditemukan dengan balon lateks di perutnya," ucapnya.
Menurut Wawan, balon udara yang dilepas biasanya terbuat dari bahan foil (lapisan plastik dan logam) dan lateks (karet). Balon yang dari bahan foil baru bias terurai di alam setelah ratusan tahun. Balon dari bahan ini juga sulit untuk didaur ulang.
Sementara balon lateks terbuat dari getah pohon karet, namun ditambahkan bahan kimia, salah satunya pigmen warna. Balon lateks butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa terurai di alam. "Ada yang menyebut butuh waktu empat tahun sebulan balon lateks untuk bisa terurai di alam dan balon lateks termasuk jenis bahan yang sulit didaur ulang," ucapnya.
Sebenarnya, kata Wawan, kegiatan pelepasan balon gas dalam acara seremonial sudah mulai dihilangkan, bahkan ada beberapa kota di dunia yang melarang acara pelepasan balon gas.
Menurut dia, di Amerika Serikat, Florida, New York, New Hampshire, Natucket, Provincetown melarang kegiatan pelepasan balon ke udara.
Pantai Laguna di California yang terkenal dengan peselancar, ombak, dan perbukitan, misalnya, melarang penjualan dan penggunaan balon. Dewan kota mengeluarkan resolusi karena faktanya balon adalah sumber sampah laut yang sangat besar. Mulai 2024 semua jenis balon tidak akan diizinkan untuk digunakan di properti publik atau di acara kota, dan bagi yang melanggar akan dikenai denda hingga US$ 500.
Sedangkan Pemerintah Kota Plymount, Inggris, kata Wawan, melarang pelepasan balon untuk melindungi hewan darat dan laut. "Di Kota Toronto, Kanada, ada aturan larangan melepaskan balon, terutama balon yang diisi dengan gas lebih ringan dari udara seperti helium. Beberapa kota di Australia melarang pelepasan balon ke udara," ujarnya.
Wawan meminta Wali Kota Surabaya melihat kasus pelepasan balon ke udara dalam acara seremonial Festival Rujak Uleg sebagai pembelajaran dan tidak ada lagi kegiatan pelepasan balon di Surabaya, apalagi kegiatan tersebut merupakan kegiatan resmi Pemerintah Kota Surabaya.
Komunitas Nol Sampah berharap kegiatan pelepasan balon di Kota Surabaya dilarang. "Untuk itu kami berharap Wali Kota Surabaya mengeluarkan Surat Edaran untuk melarang pelepasan balon ke udara pada setiap kegiatan yang dilakukan di Kota Surabaya," kata dia.
Terkait kritik terhadap seremonial pelepasan balon udara, Tempo sudah mencoba menghubungi Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi dan Wakil Wali Kota Surabaya Armuji hingga berita ini tayang pesan WhatsApp yang dikirimkan belum direspons.