Mengapa Minum Obat TBC Tidak Boleh Putus?

6 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi tantangan kesehatan di banyak negara, termasuk Indonesia. Pengobatan TBC membutuhkan ketekunan dan kesabaran karena harus dilakukan secara rutin dan tanpa putus selama berbulan-bulan.

Minum obat bagi penderita TBC berbeda dengan mengonsumsi obat biasa. Dilansir dari situs Stop TB Indonesia, perbedaan ini terjadi karena TBC disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (MTB) yang dapat menyebar melalui udara ketika pasien batuk atau bersin, mengeluarkan droplet yang mengandung bakteri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena penyebabnya adalah bakteri, maka pengobatan harus dilakukan secara kontinu tanpa putus. Bakteri MTB tergolong cerdas, karena jika seseorang menghentikan konsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT), bakteri ini dapat mengalami mutasi kromosom yang mengubah kode protein dalam gennya, sehingga membuat bakteri TBC menjadi lebih kuat.

Jika pasien berhenti minum obat, MTB yang sudah mengenal cara kerja OAT akan menyesuaikan diri dan melawan obat tersebut dengan mekanisme pertahanan baru. Proses ini menyebabkan bakteri MTB menjadi resisten atau kebal terhadap obat yang sebelumnya diminum, sehingga bakteri dapat berkembang kembali dan menginfeksi paru-paru dengan gejala yang lebih serius, seperti batuk berdarah.

Ketika sudah resisten, pengobatan memerlukan dosis obat yang lebih tinggi untuk melawan pertahanan baru bakteri MTB. Akibatnya, durasi pengobatan menjadi lebih lama dan efek samping obat bisa lebih berat. Karena itu, sangat penting bagi penderita TBC untuk tidak berhenti mengonsumsi obat agar terhindar dari resistensi obat, mencegah penularan kepada orang lain, dan menurunkan angka kesakitan serta kematian akibat penyakit ini.

Sejalan dengan penjelasan itu, dokter spesialis anak, Rina Triasih, menyebut penghentian pengobatan sebelum waktunya pada pasien TBC dapat menyebabkan penyakitnya menjadi lebih sulit ditangani.  "Kadang-kadang orang tua merasa anaknya sudah sembuh sehingga tidak perlu lagi mengonsumsi obat, padahal ini berbahaya," kata dia seperti dikutip dari Antara pada 3 Juli 2020. 

Ia menjelaskan bahwa untuk TBC ringan, pengobatan biasanya berlangsung sekitar enam bulan, sementara TBC berat memerlukan pengobatan hingga 12 bulan. Namun, dalam beberapa kasus, pasien berhenti mengonsumsi obat setelah sekitar satu bulan karena sudah merasa lebih baik.

Kebiasaan ini sangat berisiko dan mengancam keberhasilan penyembuhan penyakit tersebut. "Akibatnya TBC ini kebal obat. TBC kebal obat ini pengobatannya lebih sulit," katanya. 

Rina turut menyampaikan bahwa beberapa waktu lalu terdapat kasus seorang anak dengan TBC yang kebal obat, sehingga harus menjalani suntikan setiap hari selama enam bulan. Namun sekarang, pengobatan untuk TBC yang kebal obat sudah tersedia dalam bentuk kemasan yang bisa diminum, meskipun jumlah obat yang harus dikonsumsi cukup banyak. "Masa pengobatannya masih 18 bulan dan efek sampingnya lebih banyak," ucap dia.

Untuk mencegah penyebaran penyakit menular tersebut, ia menyarankan agar orang tua memberikan vaksin Bacillus Calmette Guerin (BCG) kepada anak-anak mereka. Selain itu, walaupun anak dalam kondisi sehat, sebaiknya mereka tetap diberikan obat pencegah TBC. "Obat pencegahan ini kita berikan kepada anak yang tidak sakit, namun kontak erat dengan pengidap TBC dewasa," ujarnya. 

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |