Perdebatan Status Ojol: Lebih Baik jadi UMKM atau Pekerja Tetap?

6 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Pengemudi ojek online (ojol) belakangan kerap mengkritik soal tidak adanya payung hukum yang meregulasi kesejahteraan mereka. Sejalan dengan kritikan itu, pemerintah mewacanakan soal payung hukum bagi pengemudi ojol masuk dalam pembahasan Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM).

Usulan ini masih memicu perdebatan di kalangan pengemudi ojol, akademikus, hingga pihak aplikator jasa transportasi online. Ada yang menilai pengemudi ojol itu lebih cocok masuk ke ranah UMKM, dan ada pula yang ingin menjadi pekerja tetap lewat penghapusan skema kemitraan antar ojol dan aplikator.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekretaris Jenderal Serikat Pengemudi Online Indonesia (Sepoi) Einstein Dialektika mengaku tak ambil pusing dengan perbedaan pendapat soal payung hukum itu. Dia hanya mendesak pemerintah untuk meregulasi kesejahteraan pengemudi ojol melalui peraturan yang tak membebani mereka. “Dalam aturannya, ojol masuk ke Kementerian Ketenagakerjaan maupun Kementerian UMKM, itu kan belum ada dan masih pembahasan baru,” kata Einstein saat aksi unjuk rasa di Patung Kuda, Jakarta, Selasa, 20 Mei 2025.

Terpenting, kata Einstein, perlu ada peraturan khusus yang mewadahi perlindungan untuk pengemudi ojol supaya pihak penyedia aplikator jasa transportasi tidak semena-mena terhadap mereka. “Ini yang kami kawal. Apapun hasilnya nanti, kami siap mendukung asal dengan aturan yang jelas,” ucap Einstein.

Beda pendapat dengan Einstein, Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati menegaskan bahwa status kemitraan antara pengemudi ojol dengan perusahaan aplikator harus dihapuskan. Dalam unjuk rasa ojol hari ini, dia meminta segera terbitkan payung hukum yang menjadikan pengemudi ojol berstatus pekerja tetap. “Sahkan payung hukum dalam RUU Ketenagakerjaan,” kata Lily melalui keterangan tertulis.

Lily menganggap pihak aplikator jasa transportasi online belum memenuhi hak-hak para pengemudi ojol sebagai pekerja. Kondisi ini dilihat dari tidaknya fasilitas dan perlengkapan yang diberikan ke pengemudi, mulai dari jaket, helm, tas, hingga biaya operasional seperti bensin, pulsa, parkir, dan sejenisnya.

Respons Pakar dan Aplikator

Pakar Perburuhan dari Universitas Indonesia, Aloysius Uwiyono merespons usulan pengemudi ojek online (ojol) untuk berganti status dari mitra menjadi pekerja tetap. Menurut Aloysius, usulan itu keliru karena pengemudi ojol lebih cocok masuk kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Salah satu faktor pendukungnya, semisal status pengemudi ojol yang tak terikat dengan perjanjian kerja di perusahaan pemilik aplikator. “Kalau dijadikan pekerja atau pekerja tetap, saya kira tidak tepat. Sehingga benar kalau mereka bagian dari UMKM,” kata Aloysius dalam diskusi soal status kemitraan ojol di Pakubuwono, Jakarta Selatan, Senin, 19 Mei 2025.

Menurut Aloysius, hubungan antara pengemudi ojol dengan perusahaan pemilik aplikator itu bersifat horizontal. Sedangkan kalau pekerja dengan pihak perusahaan itu bersifat subordinasi karena mereka menerima upah atas pekerjaan yang dilakukan. “Kalau driver ojol itu kan bagi hasil artinya. Dia tidak menerima upah. Oleh karena itu driver ojol tidak mungkin disebut pekerja,” ucap Aloysius.

Setali tiga uang, Grab Indonesia menilai status pengemudi ojol tidak memungkinkan diubah menjadi pekerja tetap karena bisa berdampak luas. Chief of Public Affairs Grab Indonesia Tirza Munusamy mengatakan bila status mitra diubah menjadi pekerja, jumlah pengemudi ojol akan berkurang drastis.

Menurut dia, status pekerja akan mengikat aplikator dengan pengemudi dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Sementara, perusahaan memiliki keterbatasan kemampuan untuk memenuhi hak pengemudi ojol yang jumlahnya jutaan. “Perusahaan tidak bisa menyerap segitu banyak karyawan. Sisanya mau ke mana?” kata Tirza dalam pertemuan dengan Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi di Jakarta Pusat, Senin, 19 Mei 2025. 

Menurut Tirza, status mitra disematkan ke pengemudi ojol karena profesi ini memiliki prinsip fleksibilitas. Bila status mitra diubah menjadi pekerja, Tirza menilai, pengemudi ojol tidak lagi fleksibel karena terikat aturan jam kerja. 

Kemudian, masyarakat juga akan semakin sulit untuk bisa mendapatkan manfaat dari aplikasi transportasi online karena perusahaan akan menempuh jalur seleksi untuk memilih karyawan. Padahal, transportasi daring menjadi pilihan banyak orang untuk mendapat pekerjaan dengan proses seleksi yang mudah.

Tirza mengklaim 50 persen mitra Grab adalah golongan masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan. Beberapa di antaranya adalah korban pemutusan hubungan kerja (PHK) atau masih menunggu pekerjaan lain. Kategori lainnya adalah pengemudi yang memiliki pekerjaan tetapi nyambi menjadi ojol untuk menambah penghasilan. “Kami sekarang menjadi bantalan sosial,” kata Tirza.

Lebih lanjut, Tirza menyampaikan bahwa perubahan status pengemudi ojol dari mitra menjadi pekerja tetap akan berdampak luas, termasuk berdampak pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Hal ini bisa terjadi karena perusahaan akan menetapkan batas jam kerja bagi pengemudi online. Padahal, ujar Tirza, 90 persen tenant Grabfood berstatus UMKM. “Dampaknya luas dan akan menghambat perekonomian yang saat ini sudah bagus di ekosistem ini,” ujarnya.

Riri Rahayu, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |