Dedolarisasi Buntut Perang Tarif AS

5 hours ago 2

DOSEN dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani mengatakan negara-negara di dunia tengah melakukan gerakan de-dolarisasi buntut perang tarif yang diinisiasi oleh Amerika Serikat atau AS. Negara adidaya itu disebut telah menjadi negosiator keras yang pragmatis seiring diterapkannya kebijakan tarif impor tinggi oleh Presiden AS Donald Trump.

“Ketika Trump menaikkan tarif atau Federal Reserve menaikkan suku bunga, efeknya menjalar hingga ke nilai tukar, inflasi, dan arus modal negara berkembang — termasuk Indonesia,” ujar Listya dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Selasa, 20 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Listya, awalnya banyak yang menganggap kebijakan tersebut hanya sebagai taktik negosiasi dagang. Saat itu, tarif dianggap sekadar alat tekanan untuk membuka ulang perjanjian perdagangan yang dianggap merugikan AS. Langkah proteksionis yang tidak lazim dalam tatanan perdagangan bebas global itu realisasi jargon kampanye Trump, America First.

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, kata Listya, AS tampil sebagai arsitek utama tatanan internasional modern yang berbasis pada institusi multilateral dan aturan global. AS bahkan menjadi pelopor pembentukan PBB, Bretton Woods Institutions (IMF, World Bank), hingga WTO, serta memainkan peran utama dalam pembentukan sistem keamanan kolektif melalui NATO.

Namun, Era kepemimpinan Trump menandai titik balik dari narasi tersebut. Dalam waktu singkat, AS menarik diri dari Trans-Pacific Partnership (TPP), menolak kesepakatan iklim Paris Agreement, dan bahkan mengancam peranannya di NATO dengan menyebutnya sebagai beban finansial. Pendekatan America First menggantikan semangat kolektif global.

“Dan AS mulai berperilaku sebagai aktor transaksional yang mengedepankan untung rugi jangka pendek dibanding komitmen jangka panjang terhadap tatanan dunia,” katanya.

Ketergantungan pada Dolar dan Arah Dedolarisasi

Menurut Listya, salah satu pilar utama kekuasaan AS dalam sistem internasional adalah dominasi dolar sebagai mata uang global. Lebih dari 85 persen transaksi perdagangan dunia menggunakan dolar, dan sekitar 59 persen cadangan devisa global disimpan dalam bentuk mata uang ini. Dolar juga menjadi alat transaksi utama dalam penetapan harga komoditas strategis seperti minyak, gas, dan emas.

“Dominasi ini memberikan keunggulan geopolitik besar bagi AS, termasuk kemampuan untuk memberlakukan sanksi finansial lintas negara dan membiayai defisit fiskalnya tanpa tekanan nilai tukar yang berarti,” kata dosen di Fakultas Bisnis dan Ekonomika, UII, Yogyakarta ini.

Namun, menurut dia, dominasi yang terlalu besar juga menciptakan ketergantungan struktural global yang rentan. Setiap kali terjadi krisis politik atau kebijakan agresif dari AS, negara-negara lain bisa terdampak secara sistemik, bahkan ketika mereka tidak terlibat langsung dalam kebijakan tersebut.

Dalam konteks inilah muncul gerakan de-dolarisasi. Bukan sebagai ekspresi anti-Amerika, tetapi sebagai bentuk penyeimbangan risiko dan pencarian kedaulatan moneter. Negara-negara seperti China dan Rusia telah lama mendorong penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral.

China mengembangkan sistem pembayaran internasional sendiri (CIPS) sebagai alternatif SWIFT, sementara Rusia memperkuat SPFS untuk menghindari pengaruh sanksi dolar. Kelompok BRICS+ (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) bahkan mulai mendiskusikan pembuatan mata uang bersama berbasis komoditas atau keranjang mata uang.

“Di Asia Tenggara, ASEAN memperluas penggunaan Local Currency Transaction (LCT) dan konektivitas pembayaran lintas negara seperti QRIS antarnegara. Inisiatif ini mendorong integrasi moneter yang lebih dalam dan mengurangi eksposur risiko eksternal dari fluktuasi dolar,” ujarnya.

Dosen Jurusan Ekonomi di UII ini berpendapat, langkah-langkah ini menunjukkan bahwa dunia tidak menginginkan pengganti hegemon tunggal untuk dolar, tetapi mengarah pada sistem moneter global yang lebih multipolar, adil, dan berimbang. Sistem ini memungkinkan negara untuk lebih tahan terhadap guncangan eksternal dan mengatur kebijakan moneter mereka secara lebih otonom.

Dengan demikian, Listya mengatakan bahwa de-dolarisasi bukan tentang menolak peran AS, melainkan tentang membangun fondasi baru bagi kestabilan moneter global yang tidak rentan terhadap keputusan sepihak satu negara. Dalam dunia yang semakin terhubung namun juga semakin terpecah, sistem moneter yang berbasis pada prinsip saling percaya.

“Keterbukaan menjadi kebutuhan mendesak untuk masa depan ekonomi internasional yang lebih berkelanjutan,” katanya.

Read Entire Article
Bogor View | Pro Banten | | |